Selain inflasi dan angka kemiskinan, jika berbicara soal ekonomi mungkin akan sangat berkaitan erat dengan yang namanya daya beli. Berita ekonomi di Indonesia akhir-akhir ini dipenuhi dengan informasi soal daya beli masyarakat yang menurun.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan ritel melambat di bulan September yang hanya mampu tumbuh 0,7% year on year (yoy). Angka tersebut bahkan berada di bawah pertumbuhan sebelumnya yang mampu mencapai 1,1%.
Baca Juga : 5 Hal Yang Bisa Anda Lakukan Di Software House
Daya beli masyarakat yang turun juga diperkuat oleh faktor lain, seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Rilis data Bank Indonesia mengenai IKK dikabarkan terus turun hingga mencapai angka 118,4 di bulan Oktober. Angka tersebut relatif masih berada di posisi “aman.”
Namun jika semakin memburuk maka tingkat masyarakat bisa semakin membatasi konsumsinya. Belum lagi jika kita melihat fenomena banyaknya toko offline yang gulung tikar di sebuah pusat perbelanjaan. Penampakan kios yang tutup, informasi toko dijual atau dikontrakan, atau pengunjung mall yang sepi jadi berita yang sering menghiasi media massa akhir-akhir ini.
2017 bisa dikatakan mulai menjadi tahun dimulainya keadaan yang cukup sulit bagi peritel. Karena pada tahun tersebut ada sejumlah ritel yang sudah memiliki nama yang besar justru gulung tikar. Seperti 7Eleven, Debenhams, Ramayana (yang menutup beberapa gerai di bulan Agustus), dan Matahari Department Store (menutup beberapa gerai di bulan September).
Baca Juga : Startup, Lebih Banyak Peluang Atau Kegagalan?
Saat ini pada tahun 2019, toko ritel sebesar Giant dikabarkan menutup 6 gerainya. Keenam gerai itu terletak di kawasan Jabodetabek. Perusahaan yang dinaungi oleh HERO tersebut turut mengikuti jejak beberapa peritel lain yang telah menutup gerai terlebih dahulu.
Tutupnya beberapa gerai toko ritel offline yang sudah memiliki nama besar memang memiliki banyak alasan. Gagal bersaing, manajemen, lokasi, inovasi, jadi beberapa latar belakang yang memungkinkan tutupnya ritel. Nama besar perusahaan yang telah melekat di pemikiran banyak orang pun tidak menjamin akan melanggengkan usaha.
Inovasi Online Menggeser Ritel
Inovasi yang dikembangkan oleh bisnis online dengan mengandalkan kekuatan dan kecepatan teknologi ternyata mampu menarik perhatian. Penggunaan internet dan teknologi yang sangat dekat dengan masyarakat merupakan hal yang menggeser pola konsumsi dan belanja masyarakat masa kini.
Keberadaan e-commerce membawa gaya dan perubahan yang baru dalam berbelanja. Sebuah laporan dari Google, Temasek dan Bain Company menunjukkan fakta yang fantastis terkait ekonomi digital Indonesia. Pada 2019 ekonomi digital Indonesia diketahui mencapai angka Rp 560 triliun atau sebesar 40 miliar US$.
Bahkan angka tersebut merupakan yang paling pesat pertumbuhannya di kawasan Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. Ekonomi digital di Indonesia memang sedang berada di puncak kemekarannya. E-commerce lokal yang bahkan belum berusia 10 tahun nyatanya mampu bersaing dengan para perusahaan besar yang telah memiliki nama populer.
Baca Juga : Tips Membangun Website yang Berpengaruh Bagi Bisnis
Orang Indonesia yang terkenal dan sering dicap sebagai yang konsumtif rupanya kini beralih ke metode belanja online. Peralihan ini disebut juga sebagai shifting. Secara sederhana shifting bisa dikatakan sebagai sebuah dampak dari era disrupsi yang menggeser cara-cara lama dalam beberapa aspek. Aspek yang ada bisa sangat banyak, termasuk dalam kegiatan bisnis dan usaha. Dan pergeseran budaya dari offline ke online adalah salah satu contohnya.
Dari proses shifting ini sebenarnya harus dimanfaatkan dengan baik oleh wirausaha-wirausaha. Karena jika tidak mengikuti pergerakan yang ada, dampak buruk terhadap usaha. Sebab kebanyakan masyarakat saat ini justru lebih nyaman menggunakan proses online. Terlebih dalam proses berbelanja yang praktis dan cepat.
Apalagi pada tahun 2018, pengguna internet Indonesia dikabarkan menjadi netizen yang paling banyak berbelanja online. Dirangkum dari We Are Social and Hootsuite, ada 86% pengguna internet yang melakukan belanja online. Angka tersebut mengalahkan China yang hanya memperoleh 82%, Jerman dan Inggris yang berada di kisaran 81%.
Kesimpulan
Dari beberapa data tersebut nampak terlihat bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia mulai berubah arah. Kegemaran berbelanja kini disalurkan melalui e-commerce atau media digital lain. Transaksi yang dilakukan tidak lagi menggunakan uang tunai, ataupun e-money. Keberadaan dompet digital atau e-wallet yang tren beberapa tahun ke belakang juga membawa pengaruh.